FREN : Ketika Right Issue Bersamaan dengan Reverse Stock Split
Last Updated on Tuesday, 06 March 2012 11:57
Written by Administrator
Monday, 05 March 2012 09:36
JAKARTA - Kontan. Meski terbilang saham tidur, namun manuver yang dipertontonkan efek PT Smart Telecom Tbk (FREN) telah menyedot perhatian pasar dalam dua pekan terakhir. Saham FREN dan waran (FREN-W) bergerak bak roller coaster.
Betapa tidak, pasca menggeber aksi reverse stock dan rights issue,
harga waran FREN (FREN-W) sempat meroket. Namun, di saat bersamaan,
harga saham FREN justru menukik tajam. Meskipun, harga keduanya
sama-sama mulai turun gunung, belakangan ini.
Sekadar menyegarkan ingatan, perusahaan halo-halo ini menggelar dua aksi korporasi dalam waktu berdekatan. Pertama, reverse stock atau membundel saham dengan ratio
20:1. Dus, saham FREN yang semula Rp 50 per saham, berubah menjadi Rp
1.000 per saham. Perdagangan perdana saham hasil bundel ini dimulai pada
16 Februari.
Aksi tersebut dibarengi dengan rights issue.
FREN menerbitkan 13,36 miliar saham baru dengan hak memesan efek
terlebih dahulu (HMETD). Setiap pemegang saham berhak atas dua HMETD, di
mana satu HMETD berhak membeli satu saham senilai Rp 100 per saham. Ex-date HMETD pun ditetapkan pada 16 Februari.
Alhasil,
cara perhitungan harga saham FREN berubah. Menurut Bursa Efek
Indonesia, harga teoretis baru saham FREN didapat dari penambahan harga
saham pasca reverse stock
senilai Rp 1.000 per saham, dengan saham hasil HMETD senilai Rp 200 per
saham, kemudian dibagi 3. Muncullah harga Rp 400 per saham.
Sementara, untuk harga waran, pasca dibundel dengan ratio yang sama, berubah dari Rp 14 per waran, menjadi Rp 280 per waran.
Nah, pada perdagangan pasca reverse stock
(16/2), terjadilah pergerakan tak wajar. Harga waran sempat meroket
hingga 114% menyentuh level Rp 600 per waran. Dengan pergerakan yang
fantastis itu, tak heran kalau ada pelaku pasar yang sempat menangguk
cuan dari fluktuasi harga waran FREN ini.
Sebaliknya,
ada pula yang harus menelan pil pahit, lantaran saham FREN turun tajam
di hari yang sama. FREN yang dibuka di harga Rp 400 per saham, menukik
turun 25% ke level Rp 300 per saham.
Belum lagi, bagi para pemegang saham ritel. Mereka yang tidak mengeksekusi rights,
terpaksa gigit jari lantaran kepemilikannya terdilusi. Pemilik saham
yang tak mengeksekusi HMETD memang bisa terdilusi maksimum 66,7%.
Antony Susilo, Direktur Keuangan FREN mengakui terjadinya kerugian di pihak pemegang saham pascareverse stock. Namun, dia menuding kerugian ini lebih disebabkan harga FREN yang sudah terpangkas mendahului mekanisme pasar.
"Ini
terjadi karena semula manajemen mengekspektasi harga dibuka di Rp 1.000
per saham, bukan di Rp 400 per saham. Kalau dibuka di level Rp 400,
sulit untuk bergeraknya,” ungkapnya, Rabu (22/2).
Antony
bilang, pihaknya semula berharap dengan harga pembukaan Rp 1.000 per
saham, bisa memberi cukup ruang untuk mempertemukan harga saham baru
yang diterbitkan (rights issue) di Rp 100 per saham.
Manajemen FREN memang tak bisa memperkirakan berapa titik baru yang terbentuk di pasar. "Tapi, bila harga saham reverse stock turun, tadinya kami berharap investor dapat insentif dari kenaikan harga saham rights issue. Tapi sulit, karena harga reverse stock FREN dibuka di Rp 400 per saham," imbuhnya.
Fundamental tak mendukung
Sejatinya,
investor yang terjebak dan masih tergiur memegang efek FREN, ibarat
menanam benih di lahan gersang. Selama ini, saham FREN sepi peminat,
bahkan sudah tidur panjang sejak Desember 2009. Atau, tak beranjak dari
level Rp 50 per saham. Pasalnya, fundamental dan kinerja perusahaan yang
dulu bernama PT Mobile-8 Telecom ini, payah.
Tengok
saja, kerugian perusahaan yang saban tahun kian membengkak. Di 2009,
FREN mencatat rugi usaha senilai Rp 675 miliar, sementara rugi bersih Rp
675 miliar. Kerugian bertambah di 2010, yaitu menderita rugi usaha Rp
867 miliar, dengan rugi bersih mencapai Rp 1,401 triliun. Bahkan, per
September 2011, FREN kembali menanggung rugi usaha Rp 654 miliar, dan
rugi bersih hingga Rp 1,813 triliun.
Belum
lagi, utang perusahaan menumpuk. Total utang FREN, termasuk utang
obligasi, per September 2011 mencapai Rp 8,101 triliun. Jumlah itu
melonjak dibanding tahun sebelumnya yang senilai Rp 4,603 triliun.
Adapun, utang obligasinya saja sebesar Rp 879,967 miliar, yang terdiri dari obligasi rupiah senilai Rp 657,553 miliar, dan Global Notes setara Rp 224,414 miliar.
FREN pun sudah beberapa kali default obligasi dan menempuh restrukturisasi. Misalnya saja, penerbitanGlobal Notes (plus opsi konversi saham) senilai US$ 10 juta pada 24 Juni 2011, sebagai restrukturisasi atasGuaranteed Senior Notes senilai US$ 100 juta , yang akan jatuh tempo Maret 2013.
Terakhir, sister company, PT
Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) bermanuver menyelamatkan FREN,
dengan membeli opsi OWK dari PT Valensia Persada senilai Rp 1 triliun.
Obligasi ini bagian dari OWK tahap I sejumlah Rp 2,4 triliun, yang
diterbitkan sepanjang Januari - September 2011. Sisa obligasi lainnya
dipegang PT Sejahtera Puramas.
Ekspektasi harga yang berbeda
Perdagangan
saham FREN menyisakan keganjilan di kalangan pelaku pasar. Lazim atau
tidaknya aksi korporasi ganda yang dilakoni FREN, juga soal perhitungan
harga teoretis, dipertanyakan. Seorang pelaku pasar yang enggan
disebutkan identitasnya mengutarakan, reverse stock berdampak kurang bagus bagi investor ritel. Dia bilang, lazimnya saham hasil bundel selalu hancur-hancuran.
“Ke depan otoritas berwenang perlu meninjau ulang, apakah kebijakan reverse stock, apalagi dibarengirights issue, bisa menguntungkan investor, atau hanya sekadar mengedepankan keuntungan emiten,” tutur sumber KONTAN tersebut, Jumat (24/2).
Jika
dihitung, saat ini harga saham maupun waran FREN memang sudah
terpangkas tajam. Hingga penutupan Jumat (24/2), saham FREN terperosok
ke level Rp 103 per saham, atau anjlok 74,25% dibanding harga awal pasca
bundel plus rights issue di Rp 400 per saham.
Sementara,
harga waran yang sempat melejit, kini ikut-ikutan tiarap. Sore ini
(24/2), FREN-W ditutup di Rp 158 per waran, atau tumbang sebesar 44%
pada periode yang sama.
Pengamat
pasar modal, sekaligus akademisi UI, Budi Frensidy menuturkan, aksi
korporasi ganda seperti yang ditempuh FREN, jarang terjadi. Dia mengaku,
tak tahu pasti soal kelaziman aksi ganda semacam itu. Namun, dia
menggarisbawahi, sejak awal Bapepam-LK terkesan sulit memberikan izin,
meskipun ujung-ujungnya izin tersebut terbit juga.
“Dari sisi emiten, jelas aksi semacam ini dirancang supaya investor tertarik mengeksekusi right, karena iming-iming dapat saham di harga tinggi. Dus, bikin saham lebih likuid,” ujarnya, Kamis (23/2).
Lantas,
apa kata Bapepam-LK? Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor
Jasa Bapepam M. Noor Rachman mengklaim, aksi korporasi dalam waktu
hampir bersamaan itu bukan hal aneh. “Itu (reverse danrights issue) lazim terjadi, bahkan sudah 30 - 40 perusahaan yang melakukan itu,” tukasnya, Jumat (24/2).
Adapun,
terkait perhitungan harga teoretis baru saham FREN, Budi mengamini cara
penghitungan tersebut sudah tepat. Dia beralasan, karena izin dua
hajatan itu sudah diterbitkan bersamaan, tak heran BEI menetapkan harga
teoretis dengan memperhitungkan langsung kedua aksi korporasi itu.
Meski
pasar kasak-kusuk, namun sejak awal BEI bersikukuh tidak ada kesalahan
dalam perhitungan. Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito
menjelaskan, perubahan harga itu lantaran pada 16 Februari ada dua
kejadian penting yang terjadi pada saham FREN, yaitu reverse stock dan perdagangan baru yang tidak mengandung right (ex.date HMETD di pasar reguler dan negosiasi).
Itu sebabnya,
perlu ada harga teoretis baru untuk saham FREN. Di mana perhitungannya
dengan mengkalkulasi harga saham setelah reverse stock dengan saham
hasil HMETD, kemudian dibagi 3. Hasilnya didapat Rp 400 per saham.
Angka itu telah menghitung right issue, walaupun distribusi right issue baru dilakukan pada 21 Februari. "Perhitungan ini dilakukan saat ex.date HMETD, bukan di saat distribusi HMETD," tukas Eddy.
Herannya,
dari pihak emiten mengklaim tidak tahu menahu. Manajemen FREN mengaku,
tak menyangka harga FREN menjadi Rp 400 per saham pasca reverse stock. Pengelola FREN baru mengetahui penetapan harga Rp 400 per saham pada hari pertama perdagangan setelah reverse stock, yakni Kamis (16/2) lalu.
“Kami sempat bertanya pada otoritas bursa. Tapi kata mereka memang mekanismenya seperti itu. Rights issue juga diperhitungkan dalam menentukan harga teoretis itu. Kami sebagai emiten tidak bisa melakukan apa-apa," kata Antony.
Waran meroket, BEI tak wajib suspensi
Yang
paling fantastis, yaitu akrobat yang diperlihatkan waran FREN, pasca
bundel saham. FREN-W sempat meroket 114% hingga menyentuh level Rp 600
per waran pada 16 Februari. Otoritas bursa pun sempat menghentikan
sementara perdagangan (suspensi)
FREN-W pada sesi I perdagangan Jumat (17/2). Harga waran tersebut
bahkan lebih tinggi dari harga saham FREN yang hanya Rp 400 per saham.
Seorang
pelaku pasar membisikkan, harga FREN-W meroket lantaran salah satu
sekuritas belum menyesuaikan harga waran pasca aksi korporasi. "Ada yang
salah posisi jual, beberapa settlement belum menyesuaikan harga beserta jumlah waran setelah reverse stock," ungkap sumber KONTAN, pekan lalu (18/2).
Sejatinya,
jumlah dan harga waran FREN ikut digabung dengan rasio yang sama
seperti pada saham. Lantaran satu sekuritas tak menyesuaikan skema itu,
nasabah menjual waran di harga pasca reverse stock,
tapi jumlah warannya tak berubah. Akibatnya, investor menanggung risiko
gagal serah saat penyerahan efek, yaitu tiga hari setelah transaksi
(T+3).
Misalnya, satu investor punya 400 waran FREN sebelum reverse stock.
Pasca aksi itu, waran miliknya semestinya jadi 20 unit. Tapi si
investor berpikir masih punya 400 waran dan menjual di harga setelahreverse stock. Dus, ia harus mencari kekurangan waran, yaitu 380 unit. Inilah yang memicu harganya naik.
Sebagai
catatan, pada periode 16 Februari, sekuritas yang paling banyak
mentransaksikan FREN-W, yaitu Indo Premier Securities, dengan volume
pembelian 10.108.000 unit, dan volume jual 10.188.500 unit. Diikuti,
ETrading Securities, dengan volume pembelian 9,268.500 unit, dan volume
jual 9.137.000 unit.
Direktur
Utama BEI Ito Warsito mengamini. Dia bilang, tingginya harga waran FREN
di perdagangan 16 Februari, karena ada beberapa perusahaan efek yang
lupa, waran FREN mengalami reverse stock alias dibundel 20:1.
“Ada
beberapa yang lupa pembundelan, dan akhirnya nasabah mengira warannya
masih banyak, lalu menjualnya. Itu menyebabkan kelebihan jual, sehingga
si perusahaan efek harus buyback lagi. Di sinilah ada beberapa orang yang memanfaatkan hal itu," jelas Ito, Kamis (23/2).
Sementara,
Budi Frensidy melihat, aksi memboyong waran FREN, semula karena
investor melihat prospek harga saham FREN yang tinggi di Rp 1.000. Jika,
investor beli waran, akan dapat hak untuk mengeksekusi di 2015.
“Kalau terjadi sesuai ekspektasi, yaitu mendapat saham di harga kisaran Rp 1000 pada tiga tahun yang akan datang, itu kan
menarik. Namun, setelah melihat harganya turun ke Rp 400, pemegang
waran merasa itu tidak bernilai lagi, sehingga melepas waran,” urainya.
Saat
ini, harga waran FREN sudah kembali seperti semula, tidak jauh di atas
harga saham FREN. Kata Ito, kalaupun, harga waran lebih tinggi dibanding
harga saham, bukan hal yang aneh.
"Keputusan
investor memilih mana yang dibeli. BEI tidak perlu melindungi sesuatu
yang sebenarnya sudah diketahui investor. Apalagi dalam peraturan tidak
disebutkan, jika waran lebih tinggi daripada saham, BEI harus
bertindak,” tegas Ito.
Budi menambahkan, dari sisi akademis, ketentuan auto rejection tidak berlaku pada pergerakan harga waran. Dia menilai, aksi suspensi yang sempat dilakukan BEI lebih sebagai early warning bagi investor. “Bahwa naik sampai Rp 600 itu enggak wajar. Namun, mereka memang tidak berkewajiban menyuspensi termasuk mengenakan auto rejection,” tukasnya.
Oleh Dupla Kartini, Anna Suci Perwitasari, Raka Mahesa W, Amailia Putri Hasniawati (dikutip dari www.kontan-online.com)
No comments:
Post a Comment