Saturday, August 25, 2012

Krisi Eropa 2012, awal krisis dunia baru ?

Mengapa Eropa Bisa Dihantam Krisis Ekonomi?

Gina Nur Maftuhah - Okezone
Sabtu, 25 Agustus 2012 15:22 wib
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
PERNAH terpikir bagaimana kondisi perekonomian sebuah kawasan negara digdaya seperti Uni Eropa bisa begitu terpuruk dan terhantam krisis? Tidak bisakah teknologi maju, SDM berkualitas dan simpanan mereka menangani semua krisis itu?

Dalam sebuah artikel singkat yang diterima Okezone, Sabtu (25/8/2012), ada sebuah cerita sederhana yang sangat menggambarkan bagaimana sebuah krisis di benua Biru bermulai dan kemudian memberikan efek domino bagi negara-negara se-kawasan dan bahkan dunia pada umumnya.

Seorang turis datang ke sebuah hotel dan menyatakan akan menginap selama tiga hari di hotel tersebut. Demi keperluannya, dia menyerahkan sebuah cek bernilai Rp2 juta untuk membayar sewa kamar dan lainnya. Pemilik hotel yang menerima cek itu, kemudian menyerahkannya kepada penjual sayur untuk membayar tagihannya. Penjual sayur itu dengan senang hati menyerahkan cek tersebut untuk membayar tagihannya kepada pedagang pupuk yang telah menunggak dua hari. Pedagang pupuk pun bisa memberikannya kepada orang lain lagi yang membutuhkan dan begitu seterusnya.

Apakah ada perpindahan uang secara riil di sini? Tak ada, yang ada hanya selembar perpindahan surat kesediaan membayar yang hampir semua orang yakin bahwa surat ini bisa berlaku layaknya uang. Siapa yang menyangka bahwa si turis tadi, pada hari kedua membatalkan kunjungannya di hotel tersebut dan meminta uangnya kembali? Bagaimana pemilik hotel tadi mengembalikan uangnya, sementara cek tadi sudah berpindah tangan?

Cerita ini hanya ilustrasi sederhana. Bayangkan kalau hal ini terjadi dalam sebuah negara yang memiliki sistem perekonomian kompleks. Awalnya memang hanya Yunani yang dinilai tidak memiliki efek domino besar. Namun, bagaimanapun, Eropa telah sepakat untuk membentuk satu kawasan terintegrasi termasuk mata uang dan Bank Sentral.

Kehancuran ekonomi yang dipicu rasio utang yang lebih besar dari pendapatan negara menimbulkan rencana default (gagal bayar). Pemegang surat utang (obligasi) milik pemerintah pun panik, nilai mata uang Euro milik mereka ambles terhadap mata uang manapun. Investor pun kemudian menuntut pemerintah dan juga Bank Sentral Eropa, The Fed, berbuat sesuatu. Bagai sel kanker, jatuhnya ekonomi Yunani berimbas pula memukul ekonomi Spanyol dan Italia yang selama ini ketahuan besar pasak ketimbang tiang.

The Fed sendiri bukan tinggal diam, Bank Sentral berkomitmen mengeluarkan dana talangan untuk Yunani. Bukan berterima kasih, Yunani malah menolak. Partai politik di negeri para dewa ini terpecah dua, setuju bailout dan penghematan anggaran. Menghemat anggaran dengan melakukan pemotongan besar-besaran memang bisa dilakukan, tetapi hal ini terancam bisa membuat lumpuh ekonomi dalam negeri. Referendum pun digelar dan masyarakat memang lebih memilih ditolong The Fed lewat skema bailout.

Beberapa waktu lalu, keadaan mereka bukannya tambah baik malah makin terpuruk, lembaga pemeringkat justru memotong sejumlah peringkat bank di Italia dan Spanyol. Negara pun harus menyuntikkan USD ke perbankan di negara tersebut agar dampak krisis ekonomi tidak makin melebar ke segala sektor.

Terakhir, The Fed berjanji akan memberikan kembali stimulus lewat skema pamungkas quantitive easing. Namun, kali ini, lembaga yang dipimpin Ben Bernanke ini mensyaratkan satu hal. Pemerintah Eropa lebih dulu memberikan bantuannya dulu, baru Bank Sentral beraksi. Aksi ini mengecewakan investor karena tingkat imbal hasil di dua negara ini telah mencapai angka tujuh persen.

Tak ada yang tahu pasti kapan krisis ini akan selesai dan lewat cara apa. Banyak analis bilang bahwa langkah apapun yang diambil The Fed dan pemerintah seperti jalan di tempat. Itu berarti, kondisi ekonomi global dan Indonesia rawan imbas tidak langsung. Maklum, pemerintah dan BI sendiri berkali-kali memastikan bahwa eksposure negara dan perbankan RI kecil ke Eropa.

"Saya rasa krisis di Eropa akan masih berlangsung dalam dua sampai tiga tahun ke depan," komentar Chief Economist BNI Ryan Kiryanto. (mrt)

Catatan Right Issue dan Reverse Stock FREN

FREN : Ketika Right Issue Bersamaan dengan Reverse Stock Split

JAKARTA - Kontan. Meski terbilang saham tidur, namun manuver yang dipertontonkan efek PT Smart Telecom Tbk (FREN) telah menyedot perhatian pasar dalam dua pekan terakhir. Saham FREN dan waran (FREN-W) bergerak bak roller coaster.
Betapa tidak, pasca menggeber aksi reverse stock dan rights issue, harga waran FREN (FREN-W) sempat meroket. Namun, di saat bersamaan, harga saham FREN justru menukik tajam. Meskipun, harga keduanya sama-sama mulai turun gunung, belakangan ini.
Sekadar menyegarkan ingatan, perusahaan halo-halo ini menggelar dua aksi korporasi dalam waktu berdekatan. Pertama, reverse stock atau membundel saham dengan ratio 20:1. Dus, saham FREN yang semula Rp 50 per saham, berubah menjadi Rp 1.000 per saham. Perdagangan perdana saham hasil bundel ini dimulai pada 16 Februari.
Aksi tersebut dibarengi dengan rights issue. FREN menerbitkan 13,36 miliar saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Setiap pemegang saham berhak atas dua HMETD, di mana satu HMETD berhak membeli satu saham senilai Rp 100 per saham. Ex-date HMETD pun ditetapkan pada 16 Februari.
Alhasil, cara perhitungan harga saham FREN berubah. Menurut Bursa Efek Indonesia, harga teoretis baru saham FREN didapat dari penambahan harga saham pasca reverse stock senilai Rp 1.000 per saham, dengan saham hasil HMETD senilai Rp 200 per saham, kemudian dibagi 3. Muncullah harga Rp 400 per saham.
Sementara, untuk harga waran, pasca dibundel dengan ratio yang sama, berubah dari Rp 14 per waran, menjadi Rp 280 per waran.
Nah, pada perdagangan pasca reverse stock (16/2), terjadilah pergerakan tak wajar. Harga waran sempat meroket hingga 114% menyentuh level Rp 600 per waran. Dengan pergerakan yang fantastis itu, tak heran kalau ada pelaku pasar yang sempat menangguk cuan dari fluktuasi harga waran FREN ini.
Sebaliknya, ada pula yang harus menelan pil pahit, lantaran saham FREN turun tajam di hari yang sama. FREN yang dibuka di harga Rp 400 per saham, menukik turun 25% ke level Rp 300 per saham.
Belum lagi, bagi para pemegang saham ritel. Mereka yang tidak mengeksekusi rights, terpaksa gigit jari lantaran kepemilikannya terdilusi. Pemilik saham yang tak mengeksekusi HMETD memang bisa terdilusi maksimum 66,7%.
Antony Susilo, Direktur Keuangan FREN mengakui terjadinya kerugian di pihak pemegang saham pascareverse stock. Namun, dia menuding kerugian ini lebih disebabkan harga FREN yang sudah terpangkas mendahului mekanisme pasar.
"Ini terjadi karena semula manajemen mengekspektasi harga dibuka di Rp 1.000 per saham, bukan di Rp 400 per saham. Kalau dibuka di level Rp 400, sulit untuk bergeraknya,” ungkapnya, Rabu (22/2).
Antony bilang, pihaknya semula berharap dengan harga pembukaan Rp 1.000 per saham, bisa memberi cukup ruang untuk mempertemukan harga saham baru yang diterbitkan (rights issue) di Rp 100 per saham.
Manajemen FREN memang tak bisa memperkirakan berapa titik baru yang terbentuk di pasar. "Tapi, bila harga saham reverse stock turun, tadinya kami berharap investor dapat insentif dari kenaikan harga saham rights issue. Tapi sulit, karena harga reverse stock FREN dibuka di Rp 400 per saham," imbuhnya.



Fundamental tak mendukung
Sejatinya, investor yang terjebak dan masih tergiur memegang efek FREN, ibarat menanam benih di lahan gersang. Selama ini, saham FREN sepi peminat, bahkan sudah tidur panjang sejak Desember 2009. Atau, tak beranjak dari level Rp 50 per saham. Pasalnya, fundamental dan kinerja perusahaan yang dulu bernama PT Mobile-8 Telecom ini, payah.
Tengok saja, kerugian perusahaan yang saban tahun kian membengkak. Di 2009, FREN mencatat rugi usaha senilai Rp 675 miliar, sementara rugi bersih Rp 675 miliar. Kerugian bertambah di 2010, yaitu menderita rugi usaha Rp 867 miliar, dengan rugi bersih mencapai Rp 1,401 triliun. Bahkan, per September 2011, FREN kembali menanggung rugi usaha Rp 654 miliar, dan rugi bersih hingga Rp 1,813 triliun.
Belum lagi, utang perusahaan menumpuk. Total utang FREN, termasuk utang obligasi, per September 2011 mencapai Rp 8,101 triliun. Jumlah itu melonjak dibanding tahun sebelumnya yang senilai Rp 4,603 triliun.
Adapun, utang obligasinya saja sebesar Rp 879,967 miliar, yang terdiri dari obligasi rupiah senilai Rp 657,553 miliar, dan Global Notes setara Rp 224,414 miliar.
FREN pun sudah beberapa kali default obligasi dan menempuh restrukturisasi. Misalnya saja, penerbitanGlobal Notes (plus opsi konversi saham) senilai US$ 10 juta pada 24 Juni 2011, sebagai restrukturisasi atasGuaranteed Senior Notes senilai US$ 100 juta , yang akan jatuh tempo Maret 2013.
Terakhir, sister company, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) bermanuver menyelamatkan FREN, dengan membeli opsi OWK dari PT Valensia Persada senilai Rp 1 triliun. Obligasi ini bagian dari OWK tahap I sejumlah Rp 2,4 triliun, yang diterbitkan sepanjang Januari - September 2011. Sisa obligasi lainnya dipegang PT Sejahtera Puramas.
Ekspektasi harga yang berbeda
Perdagangan saham FREN menyisakan keganjilan di kalangan pelaku pasar. Lazim atau tidaknya aksi korporasi ganda yang dilakoni FREN, juga soal perhitungan harga teoretis, dipertanyakan. Seorang pelaku pasar yang enggan disebutkan identitasnya mengutarakan, reverse stock berdampak kurang bagus bagi investor ritel. Dia bilang, lazimnya saham hasil bundel selalu hancur-hancuran.
“Ke depan otoritas berwenang perlu meninjau ulang, apakah kebijakan reverse stock, apalagi dibarengirights issue, bisa menguntungkan investor, atau hanya sekadar mengedepankan keuntungan emiten,” tutur sumber KONTAN tersebut, Jumat (24/2).
Jika dihitung, saat ini harga saham maupun waran FREN memang sudah terpangkas tajam. Hingga penutupan Jumat (24/2), saham FREN terperosok ke level Rp 103 per saham, atau anjlok 74,25% dibanding harga awal pasca bundel plus rights issue di Rp 400 per saham.
Sementara, harga waran yang sempat melejit, kini ikut-ikutan tiarap. Sore ini (24/2), FREN-W ditutup di Rp 158 per waran, atau tumbang sebesar 44% pada periode yang sama.
Pengamat pasar modal, sekaligus akademisi UI, Budi Frensidy menuturkan, aksi korporasi ganda seperti yang ditempuh FREN, jarang terjadi. Dia mengaku, tak tahu pasti soal kelaziman aksi ganda semacam itu. Namun, dia menggarisbawahi, sejak awal Bapepam-LK terkesan sulit memberikan izin, meskipun ujung-ujungnya izin tersebut terbit juga.
“Dari sisi emiten, jelas aksi semacam ini dirancang supaya investor tertarik mengeksekusi right, karena iming-iming dapat saham di harga tinggi. Dus, bikin saham lebih likuid,” ujarnya, Kamis (23/2).
Lantas, apa kata Bapepam-LK? Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa Bapepam M. Noor Rachman mengklaim, aksi korporasi dalam waktu hampir bersamaan itu bukan hal aneh. “Itu (reverse danrights issue) lazim terjadi, bahkan sudah 30 - 40 perusahaan yang melakukan itu,” tukasnya, Jumat (24/2).
Adapun, terkait perhitungan harga teoretis baru saham FREN, Budi mengamini cara penghitungan tersebut sudah tepat. Dia beralasan, karena izin dua hajatan itu sudah diterbitkan bersamaan, tak heran BEI menetapkan harga teoretis dengan memperhitungkan langsung kedua aksi korporasi itu.
Meski pasar kasak-kusuk, namun sejak awal BEI bersikukuh tidak ada kesalahan dalam perhitungan. Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito menjelaskan, perubahan harga itu lantaran pada 16 Februari ada dua kejadian penting yang terjadi pada saham FREN, yaitu reverse stock dan perdagangan baru yang tidak mengandung right (ex.date HMETD di pasar reguler dan negosiasi).
Itu sebabnya, perlu ada harga teoretis baru untuk saham FREN. Di mana perhitungannya dengan mengkalkulasi harga saham setelah reverse stock dengan saham hasil HMETD, kemudian dibagi 3. Hasilnya didapat Rp 400 per saham.
Angka itu telah menghitung right issue, walaupun distribusi right issue baru dilakukan pada 21 Februari. "Perhitungan ini dilakukan saat ex.date HMETD, bukan di saat distribusi HMETD," tukas Eddy.
Herannya, dari pihak emiten mengklaim tidak tahu menahu. Manajemen FREN mengaku, tak menyangka harga FREN menjadi Rp 400 per saham pasca reverse stock. Pengelola FREN baru mengetahui penetapan harga Rp 400 per saham pada hari pertama perdagangan setelah reverse stock, yakni Kamis (16/2) lalu.
“Kami sempat bertanya pada otoritas bursa. Tapi kata mereka memang mekanismenya seperti itu. Rights issue juga diperhitungkan dalam menentukan harga teoretis itu. Kami sebagai emiten tidak bisa melakukan apa-apa," kata Antony.
Waran meroket, BEI tak wajib suspensi
Yang paling fantastis, yaitu akrobat yang diperlihatkan waran FREN, pasca bundel saham. FREN-W sempat meroket 114% hingga menyentuh level Rp 600 per waran pada 16 Februari. Otoritas bursa pun sempat menghentikan sementara perdagangan (suspensi) FREN-W pada sesi I perdagangan Jumat (17/2). Harga waran tersebut bahkan lebih tinggi dari harga saham FREN yang hanya Rp 400 per saham.
Seorang pelaku pasar membisikkan, harga FREN-W meroket lantaran salah satu sekuritas belum menyesuaikan harga waran pasca aksi korporasi. "Ada yang salah posisi jual, beberapa settlement belum menyesuaikan harga beserta jumlah waran setelah reverse stock," ungkap sumber KONTAN, pekan lalu (18/2).
Sejatinya, jumlah dan harga waran FREN ikut digabung dengan rasio yang sama seperti pada saham. Lantaran satu sekuritas tak menyesuaikan skema itu, nasabah menjual waran di harga pasca reverse stock, tapi jumlah warannya tak berubah. Akibatnya, investor menanggung risiko gagal serah saat penyerahan efek, yaitu tiga hari setelah transaksi (T+3).
Misalnya, satu investor punya 400 waran FREN sebelum reverse stock. Pasca aksi itu, waran miliknya semestinya jadi 20 unit. Tapi si investor berpikir masih punya 400 waran dan menjual di harga setelahreverse stock. Dus, ia harus mencari kekurangan waran, yaitu 380 unit. Inilah yang memicu harganya naik.
Sebagai catatan, pada periode 16 Februari, sekuritas yang paling banyak mentransaksikan FREN-W, yaitu Indo Premier Securities, dengan volume pembelian 10.108.000 unit, dan volume jual 10.188.500 unit. Diikuti, ETrading Securities, dengan volume pembelian 9,268.500 unit, dan volume jual 9.137.000 unit.
Direktur Utama BEI Ito Warsito mengamini. Dia bilang, tingginya harga waran FREN di perdagangan 16 Februari, karena ada beberapa perusahaan efek yang lupa, waran FREN mengalami reverse stock alias dibundel 20:1.
“Ada beberapa yang lupa pembundelan, dan akhirnya nasabah mengira warannya masih banyak, lalu menjualnya. Itu menyebabkan kelebihan jual, sehingga si perusahaan efek harus buyback lagi. Di sinilah ada beberapa orang yang memanfaatkan hal itu," jelas Ito, Kamis (23/2).
Sementara, Budi Frensidy melihat, aksi memboyong waran FREN, semula karena investor melihat prospek harga saham FREN yang tinggi di Rp 1.000. Jika, investor beli waran, akan dapat hak untuk mengeksekusi di 2015.
“Kalau terjadi sesuai ekspektasi, yaitu mendapat saham di harga kisaran Rp 1000 pada tiga tahun yang akan datang, itu kan menarik. Namun, setelah melihat harganya turun ke Rp 400, pemegang waran merasa itu tidak bernilai lagi, sehingga melepas waran,” urainya.
Saat ini, harga waran FREN sudah kembali seperti semula, tidak jauh di atas harga saham FREN. Kata Ito, kalaupun, harga waran lebih tinggi dibanding harga saham, bukan hal yang aneh.
"Keputusan investor memilih mana yang dibeli. BEI tidak perlu melindungi sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui investor. Apalagi dalam peraturan tidak disebutkan, jika waran lebih tinggi daripada saham, BEI harus bertindak,” tegas Ito.
Budi menambahkan, dari sisi akademis, ketentuan auto rejection tidak berlaku pada pergerakan harga waran. Dia menilai, aksi suspensi yang sempat dilakukan BEI lebih sebagai early warning bagi investor. “Bahwa naik sampai Rp 600 itu enggak wajar. Namun, mereka memang tidak berkewajiban menyuspensi termasuk mengenakan auto rejection,” tukasnya.
Oleh Dupla Kartini, Anna Suci Perwitasari, Raka Mahesa W, Amailia Putri Hasniawati (dikutip dari www.kontan-online.com)

Clixeria max - Dapat Dollar gratis dari paman sam -- 0.01 $ / click