Friday, September 21, 2012

analisa harga cpo - 2012

Harga kedelai mendongkrak CPO
Harga minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) kembali terangkat. Kekeringan di Amerika Serikat (AS) mengakibatkan panen kedelai merosot sehingga harganya melonjak. Kondisi ini menyebabkan permintaan CPO sebagai komoditas alternatif menanjak.

Harga kontrak CPO untuk pengiriman November di Bursa Malaysia, Jumat (24/8), naik tipis sebesar 0,26% menjadi RM 3.069 per ton dibanding harga sehari sebelumnya. Dalam sepekan, harga CPO menguat 3,61%.

Di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), harga kontrak CPO untuk pengiriman November 2012 juga telah terangkat 4,67% dalam sepekan terakhir menjadi Rp 9.295 per ton pada Jumat.

Meski begitu, pergerakan harga CPO masih rentan terkoreksi karena permintaan dunia yang melemah. China, misalnya, sebagai negara pengimpor kelapa sawit terbesar di dunia setelah India, mengalami pelemahan impor hingga yang terendah dalam empat tahun terakhir.

Menurut survei Bloomberg, impor CPO China diprediksi akan turun 7% menjadi 5,5 juta ton pada sepanjang 2012 dibanding tahun sebelumnya yang sebanyak 5,9 juta ton.

Senior Analyst Monex Investindo Futures Ariana Nur Akbar mengatakan, walaupun harga CPO relatif menguat, ada sinyal penurunan karena aksi ambil untung alias profit taking. Pasalnya, harga CPO sudah menguat cukup tinggi dalam beberapa waktu terakhir.

Sudah jenuh beli

Berdasarkan analisis teknikal, indikator moving average (MA) menunjukkan pergerakan harga CPO masih turun. Begitu pula moving average convergence-divergence (MACD) sudah berada di level tinggi. Alhasil, koreksi kemungkinan besar bisa terjadi. Potensi koreksi juga ditunjukkan oleh indikator stochastic yang saat ini telah berada di posisi jenuh beli.

Menurut analis pasar fisik komoditas Soe Gee Futures Renji Betari, harga CPO yang sempat terkoreksi disebabkan oleh pelemahan mata uang negara-negara pengimpor CPO, seperti India. “Karena itu, negara-negara pengimpor CPO harus membayar lebih mahal untuk mengimpor CPO dalam mata uang dollar AS,” kata dia.

Renji memprediksi, pekan ini harga CPO akan bergerak di kisaran RM 2.900 - RM 3.150 per ton. Sementara, hitungan Ariana, harga CPO akan bergerak turun di support RM 3.050 dan resistance US$ 3.087 per ton.

oleh Anna Marie Happy, Choirunnisak -
sumber http://investasi.kontan.co.i

Tahun 2012 - anjlognya harga batu bara

MuaraTeweh, (Analisa). Sejumlah pengusaha tambang batubara di wilayah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah terpukul karena dalam sebulan terakhir harga emas hitam di pasaran internasional anjlok berkisar Rp240.000 per ton, padahal sebelumnya mencapai Rp450 ribu/ton.
"Saat ini sejumlah perusahaan pertambangan di daerah ini telah menyampaikan keluhan kepada kami terkait anjloknya harga batu bara tersebut," kata Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Barito Utara, SD Aritonang di Muara Teweh, Sabtu (4/8).

Menurut Aritonang, turunnya harga batubara tersebut membuat perusahaan mengurangi biaya operasional karena biaya operasional pada harga normal sekitar Rp280 ribu/ton sehingga pengusaha mengalami kerugian Rp40 ribu/ton.Itu belum termasuk biaya tak terduga.

Saat ini perusahaan hanya membayar gaji pokok, sedangkan uang lembur karyawan ditiadakan.

"Bila harga tidak mengalami perubahan beberapa bulan ke depan atau awal tahun, maka bisa dipastikan seluruh kegiatan pertambangan dan investor terancam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)," katanya.

Dia mengatakan, kondisi ini jelas tak bisa dihindarkan karena perusahaan tak mau mengalami kerugian yang lebih besar lagi. Jalan satu satunya adalah dengan cara merumahkan seluruh karyawan.

Saat ini pekerja di sektor pertambangan di Kabupaten Barito Utara sekitar dua ribu karyawan, sehingga anjloknya harga batu bara itu akan berdampak pada tingkat pengangguran di daerah ini. (Ant)

analisa harga batubara

Sektor Batubara: Antara Rumor, Fakta, dan Konspirasi

Saham-saham batubara, jika anda perhatikan, hingga saat ini masih berada dalam event big sale, alias masih terdiskon besar-besaran. Termasuk saham yang fundamentalnya amburadul macam Bumi Resources (BUMI), pada harga sekarang juga sudah boleh dikatakan murah. Jadi apakah sekarang sudah saatnya untuk akumulasi, ataukah kita justru harus menghindari sektor ini dulu? Bagaimana dengan berbagai sentimen negatif yang menyelimuti saham-saham batubara belakangan ini?

Penurunan saham-saham di satu sektor biasanya nggak lengkap kalau gak dibumbui berbagai sentimen negatif. Kalau kita mengkerucutkan sentimen-sentimen yang beredar terkait sektor batubara, maka akan diperoleh setidaknya tiga sentimen: Pertama, harga minyak mentah dunia pada saat ini sedang terpuruk di level US$ 80-an per barel, setelah sebelumnya gagah di level US$ 110-an per barel. Sejak dulu penurunan harga minyak biasanya diasosiasikan dengan penurunan harga batubara, dan faktanya harga batubara acuan (HBA) jenis thermal coal pada saat ini adalah US$ 95-an per ton, terendah sejak Agustus 2010. Kedua, ada yang mengatakan bahwa suplai gas alam (natural gas) di Amerika telah meningkat drastis belakangan ini, seiring dengan ditemukannya teknologi oleh perusahaan-perusahaan gas untuk meningkatkan volume produksi. Mengingat bahwa gas alam dianggap lebih bersih dan relatif lebih ekonomis dibanding batubara (dalam hal digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik), maka peningkatan suplai gas alam menyebabkan harganya menjadi turun, dan itu menyebabkan pembangkit-pembangkit listrik di Amerika beralih dari batubara ke gas.
Ketiga, harga batubara yang pada saat ini sudah rendah, diperkirakan akan lebih rendah lagi pada waktu-waktu mendatang, mungkin bisa mencapai US$ 80 per ton pada tahun 2014. khususnya untuk batubara asal Indonesia. Alasannya? Karena terdapat kemungkinan penurunan permintaan batubara dari Tiongkok, salah satu pasar utama batubara asal Indonesia, yang selain disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan, juga karena baru selesainya pembangunan jalur jalan tol untuk pengangkutan batubara yang menghubungkan Tiongkok dan Mongol. Bagi para perusahaan baja dan pembangkit listrik di Tiongkok, tentunya akan lebih mudah mengimpor batubara dari Mongol ketimbang dari Indonesia, karena jaraknya lebih dekat sehingga biaya pengirimannya lebih ekonomis. Dan ini akan menurunkan permintaan akan batubara dari Indonesia, yang pada akhirnya menurunkan harga jual dari batubara yang dihasilkan.
Oke, sekarang coba kita analisis. Sentimen pertama soal harga minyak mentah, sebenarnya itu tidak perlu dikhawatirkan. Harga minyak, kalau kita pakai trend pergerakan harganya selama lima tahun terakhir, median-nya berada di posisi US$ 90-an per barel. Harga minyak pada saat ini memang lebih rendah dibanding posisi median-nya tersebut. Tapi kalau berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, maka cepat atau lambat harga minyak akan kembali naik ke posisi US$ 90 - 100 per barel (dan kalau sudah menembus US$ 100, maka selanjutnya turun lagi, gitu aja terus). Sentimen kedua soal gas alam sebagai substitusi batubara, itu adalah cerita lama yang meski udah diomongin sejak kapan, tapi nyatanya perusahaan-perusahaan pembangkit listrik di Asia (termasuk Tiongkok) sampai sekarang masih tetap menggunakan batubara. Okelah mungkin pembangkit listrik di Amerika sana mulai beralih dari batubara ke gas, tapi perusahaan batubara di Indonesia gak ada yang mengekspor produknya sampai ke Amerika (kejauhan), jadi itu gak ngaruh.
Sentimen yang mungkin perlu ditanggapi secara serius adalah soal kemungkinan penurunan permintaan batubara dari Tiongkok. Kita tahu bahwa adalah benar pertumbuhan ekonomi disana telah melambat, dari 13% menjadi tinggal 8%, dan juga benar bahwa telah dibuka jalur tambahan untuk transportasi batubara ke Tiongkok. SouthGobi Resources, salah satu perusahaan batubara terbesar di Mongol, melaporkan bahwa pada tanggal 28 Mei 2012, pemerintah Mongol dan Tiongkok secara resmi membuka delapan gerbang jalan tol khusus untuk transportasi batubara di perbatasan Shivee Khuren (Mongol) dan Ceke (Tiongkok). Itu belum termasuk pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan perbatasan Gashuun Sukhait (Mongol) dan Ganqimaodao (Tiongkok), yang diperkirakan akan selesai tahun 2014 mendatang. A real threat for Indonesian Coal Miners?
Mongolian vs Indonesian Coal
Sejak penulis masuk ke dunia saham pada tahun 2009, penulis sudah mendengar julukan ‘Saudi Arabia of Coal’ bagi Mongol, karena dikabarkan bahwa negaranya Genghis Khan tersebut memiliki cadangan batubara yang sangat besar. Seberapa besar? Pada akhir tahun 2011, Mongol diperkirakan memiliki cadangan batubara terbukti (proven) sebanyak 17.6 milyar ton. Sebagai perbandingan, pada akhir tahun 2010, Indonesia memiliki cadangan batubara terduga (probable) sebanyak total 21.1 milyar ton, alias lebih besar ketimbang Mongol. Namun ingat bahwa status cadangan milik Indonesia tersebut masih terduga, dimana jika cadangan tersebut dikompress lagi menjadi cadangan terbukti, maka angkanya akan menjadi lebih kecil, bisa jadi lebih kecil dari 17.6 milyar ton.
Jadi terlepas dari istilah Saudi Arabia yang agak kurang tepat (karena produsen terbesar batubara di dunia adalah Tiongkok), tapi adalah benar bahwa Mongol memiliki lebih banyak cadangan batubara ketimbang Indonesia, atau setidaknya setara. Kabar baiknya kalau dilihat dari angka cadangan terkira (estimated), Indonesia unggul dengan cadangan lebih dari 200 milyar ton pada akhir tahun 2011, berbanding 164.2 milyar ton milik Mongol. Angka-angka cadangan tersebut bisa meningkat jika ditemukan cadangan baru, atau menurun jika jumlah batubara yang digali lebih banyak daripada jumlah cadangan baru yang ditemukan.
Btw sekedar catatan, urutan status cadangan batubara itu, dimulai dari yang terendah, adalah estimated, probable, kemudian baru proven. Cadangan proven ini terkadang dibedakan lagi menjadi economically mineable (bisa digali dengan biaya yang lebih rendah dibanding hasil yang diperoleh), mineable only, dan non-mineable. Tapi biasanya cadangan dengan status proven sudah berarti economically mineable juga.
Balik lagi ke Mongol. Dari sisi produksi, Mongol hanya memproduksi total 30.4 juta ton batubara pada tahun penuh 2011, sangatlah kecil dibanding 223.3 juta ton batubara yang diproduksi Indonesia hingga akhir kuartal III 2011. Kecilnya volume produksi tersebut adalah karena Mongol hanya memiliki 2.8 juta penduduk di seantero negeri (bandingkan dengan 230 juta penduduk di Indonesia), sehingga Mongol bukanlah negara konsumen yang potensial bagi batubara (jadi ngapain gali batubara kalau gak ada yang beli?). Industri batubara di Mongol baru mulai menggeliat sejak tahun 2006, setelah didorong oleh meningkatnya permintaan batubara jenis coking coal (batubara untuk peleburan baja) dari Tiongkok. Dari volume produksi sebanyak 30.4 juta ton pada tahun 2011, 22.4 juta ton diantaranya memang merupakan coking coal. Para perusahaan baja di Tiongkok sendiri lebih suka mengambil coking coal dari Mongol ketimbang dari negara lainnya, karena harganya lebih murah dengan selisih sekitar US$ 25 per ton.
Lima besar perusahaan batubara di Mongol, dilihat dari volume produksi, adalah (diurutkan dari yang terbesar) 1. Mongolian Mining Corp., 2. Mongolyn Alt - Qinhua Joint Company, 3. Tavan Tolgoi Joint Company, 4. SouthGobi Resources, dan 5. Erdenes. Masing-masing dari kelima perusahaan tersebut memproduksi rata-rata 4.5 juta ton batubara di tahun 2011. Kecil? Memang. Bandingkan dengan volume produksi perusahaan batubara terbesar di Indonesia, Adaro Energy (ADRO), yang mencapai 47.7 juta ton pada tahun 2011 (ADRO adalah produsen batubara terbesar di Indonesia, sebab BUMI terdiri dari dua perusahaan batubara yang terpisah, yaitu Kaltim Prima Coal, dan Arutmin). Jadi bisa dikatakan bahwa Mongol masih terlalu kecil untuk bisa menggantikan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara terbesar ke Tiongkok, bahkan meski banyak dibangun jalur transportasi batubara yang menghubungkan kedua negara.
Tapi bukankah volume produksi yang kecil itu berpotensi untuk meningkat seiring dengan berkembangnya pembangunan berbagai infrastruktur pendukung disana? Yup, benar. Menurut konsultan tambang batubara terkemuka di Tiongkok, Shanxi Fenwei, total produksi batubara Mongol yang hanya 30.4 juta ton pada tahun 2011 akan meningkat menjadi 56.9 juta ton pada tahun 2015 mendatang, dimana 42.8 juta ton diantarnya merupakan coking coal. But hey, angka segitu tetep saja kecil dibanding volume produksi batubara asal Indonesia bukan? Kalau kita bicara jangka yang sangaaat panjang, katakanlah 20 - 30 tahun mendatang, maka mungkin barulah industri batubara di Mongol akan maju seperti disini. Kesulitan utama dalam industri batubara (dan juga industri tambang lainnya) di Mongol adalah kondisi geografisnya yang sulit untuk dieksplorasi (perpaduan antara gurun, pegunungan, hutan belantara, hingga padang rumput), dan jumlah penduduknya yang kelewat sedikit. Dari penduduk Mongol yang cuma 2.8 juta itu, 45% diantaranya tinggal di Ibukota Ulaanbaatar, sehingga sebagian besar area Mongol adalah tanah perawan alias no man’s land yang memerlukan upaya ekstra untuk dieksplorasi.
Oke, tarohlah Mongol kemudian berhasil maju pada 20 tahun mendatang. Namun ketika itu seharusnya Indonesia juga sudah jauh lebih maju dibanding saat ini (karena penduduk Indonesia jauuuh lebih banyak ketimbang Mongol), termasuk berbagai industrinya yang membutuhkan bahan bakar batubara. Sehingga seharusnya pada saat itu perusahaan-perusahaan batubara Indonesia tidak perlu lagi mengekspor produknya keluar negeri, melainkan bisa ke pasar domestik. Dan seharusnya hal ini juga bisa meminimalisir kekhawatiran karena perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, karena cepat atau lambat, perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia akan menjadi tidak tergantung oleh pasar Tiongkok lagi.
Lalu, dari mana kita tahu bahwa para perusahaan batubara di Indonesia nantinya bisa menjual produknya ke pasar domestik? Salah satunya, kita bisa melihatnya dari progress proyek pembangunan pembangkit listrik 10,000 Megawatt (MW) milik PLN, yang belakangan direvisi menjadi 10,047 MW. Sepanjang tahun 2011 lalu, PLN sudah menyelesaikan pembangunan beberapa unit pembangkit dengan total kapasitas 3,274 MW, sehingga totalnya PLN sudah menyelesaikan 37 unit pembangkit listrik dengan total kapasitas 9,975 MW dari rencana 10,047 MW (lho, sedikit lagi selesai toh?). Sekitar 50% dari pembangkit-pembangkit listrik anyar tersebut akan menggunakan bahan bakar geothermal (panas bumi), sementara 30% lainnya menggunakan bahan bakar batubara. Sisanya menggunakan bahan bakar minyak solar, tenaga air, tenaga surya, dan gas.
Jadi dengan ini, penulis mengkoreksi komentar penulis di artikel sebelumnya (kalau gak salah yang berjudul Kobexindo Tractors), yang mengatakan bahwa PLN lelet. I’m sorry sir, ketika itu saya belum membaca report perusahaan anda.
Pasca proyek 10,000 MW diatas, PLN akan mengerjakan proyek yang sama, dengan judul proyek 10,000 MW tahap dua. Namun proyek ini masih sebatas rencana alias belum dikerjakan. Kalau dari perusahaan pembangkit listrik swasta yang sudah teken kontrak penjualan listrik dengan PLN, terdapat setidaknya 15 pembangkit listrik yang akan mulai beroperasi dalam beberapa waktu yang akan datang, dengan total kapasitas 4,110 MW, dimana 2,890 MW alias 70% diantaranya menggunakan bahan bakar batubara. Tapi berani taruhan, informasi diatas gak akan muncul di koran dalam waktu dekat ini, karena itu akan menjadi nggak nyambung dengan kondisi saham-saham batubara yang sedang terpuruk pada saat ini.
Kesimpulannya, penulis termasuk yang masih optimis dengan prospek saham-saham batubara di Indonesia. Kalaupun ada saham yang harus dihindari, mungkin itu adalah Borneo Lumbung Energi (BORN), karena BORN memproduksi coking coal, sementara emiten batubara lainnya memproduksi thermal coal. Diatas sudah disebutkan bahwa selain Mongol memproduksi coking coal cukup banyak, harga coking coal disana juga lebih murah rata-rata US$ 25 per ton dibanding harga coking coal di pasar global, termasuk Indonesia. Namun sejauh analisis penulis, tidak terdapat data yang menyebutkan bahwa harga thermal coal asal Mongol lebih murah ketimbang harga thermal coal asal Indonesia. Kemungkinan harga thermal coal asal Mongol masih mahal karena biaya eksplorasi disana juga lebih mahal ketimbang disini. Untuk kasus harga coking coal, ceritanya bisa beda karena harga coking coal di pasar global memang jauh lebih mahal dibanding thermal coal. Jadi sekali lagi, nothing to worry about.
Teori Konspirasi Rothschild
Anda mungkin sudah mendengar cerita perseteruan antara Grup Bakrie dengan mantan rekan bisnisnya dari Inggris, Nathaniel ‘Nat’ Rothschild, dimana Nat berang karena ditendang dari jajaran direksi Bumi Plc, digantikan oleh Samin Tan, pemilik BORN. Beberapa orang mengatakan bahwa Bakrie melakukan itu untuk mencegah BUMI, yang sebagian sahamnya dipegang oleh Bumi Plc, lepas ke tangan Nat. Namun langkah Bakrie tersebut terbilang ceroboh, karena Nat ini bukan orang sembarangan. Dia adalah anggota dari Keluarga Rothschild, yang oleh sebagian orang, dipercaya sebagai dinasti keluarga terkaya dan paling berpengaruh di muka bumi (ada juga yang bilang kalau Rothschild ini sudah mengendalikan dunia termasuk Amerika, sejak abad ke-18 hingga sekarang). Mereka lebih kaya dibanding Bill Gates, Carlos Slim Helu, Warren Buffett, ataupun Aburizal Bakrie. Mereka juga lebih berkuasa dibanding Barack Obama, Hu Jintao, Angela Merkel, Benjamin Netanyahu, ataupun Susilo Bambang Yudhoyono.
Jadi kalau cerita soal Rothschild itu benar, maka bagi Mr. Nathaniel, adalah sangat mudah baginya untuk mengendalikan arah market. Terkait ‘masalah pribadinya’ dengan Bakrie, Nat kemudian menyuruh para bandarnya untuk menjatuhkan saham-saham yang berkaitan dengan Bumi Plc, yaitu BUMI, BORN, Berau Coal Energy (BRAU), dan Bumi Resources Minerals (BRMS). Nat juga menyebarkan berbagai rumor yang tak sedap untuk memuluskan proses penjatuhan saham tersebut, sehingga imbasnya gak cuma keempat saham diatas saja yang jatuh, tapi hampir seluruh saham-saham tambang di BEI ikut jatuh. Lebih jauh, Nat bahkan bisa saja menyuruh perusahaan-perusahaan pembangkit listrik di Tiongkok untuk tidak lagi membeli batubara asal Indonesia. Just remember, his family rule the world!
Namun, cerita diatas hanyalah teori konspirasi. Tidak ada bukti yang secara tegas menunjukkan keterlibatan Rothschild dengan penurunan saham-saham tambang, khususnya batubara. Tapi jika cerita diatas memang benar, maka arah pergerakan saham batubara menjadi tidak bisa diprediksi, karena soal apakah saham-saham batubara akan dinaikkan atau diturunkan, itu akan sepenuhnya tergantung oleh keinginan si bandar saja. Untuk saat ini mari kita berharap mudah-mudahan teori konspirasi itu cuma teori saja, bukan sungguhan.
Satu hal lagi, Warren Buffett pernah memberi tips, ‘The best time to buy a stock is when nobody wants to buy it’. Tips yang terdengar sederhana, namun sangat sulit untuk dipraktekkan. Bagaimana bisa kita membeli sebuah saham yang orang lain justru berlomba-lomba untuk menjualnya? But trust me, Buffett is right :)

Clixeria max - Dapat Dollar gratis dari paman sam -- 0.01 $ / click